Powered By Blogger

Sabtu, 15 April 2017

OJEK ONLINE: SEJAHTERAKAH PENGEMUDI MEREKA?

Ketiga Pemain Besar Ojek Online, Uber, Grab, Gojek

JAKARTA – Kehadiran transportasi online beroda dua atau yang biasa kita kenal dengan ojek online sangat membantu masyarakat dalam urusan transportasi. Tidak hanya dapat mengantarkan kita ke tujuan yang kita tuju, tetapi juga dapat membelikan kita makanan, atau sekedar mengantar barang ke tempat lain. Dampaknya juga luas, banyak masyarakat yang mendapatkan mata pencaharian baru ini sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Dari jumlah pengguna jasa ojek online yang banyak dan juga jenis layanan yang beragam membuat orderan tentu ramai, tetapi apakah mitra pengemudi merasakan kesejahteraan dari pekerjannya ini?

Saat ini hanya ada tiga pemain besar saja dalam dunia transportasi online. Sebelumnya yang lain juga menjamur, sebelum hilang karena kalah bersaing. Ketiga pemain utama itu adalah Gojek, Grab, dan Uber. Gojek ada sejak 2010, Grab masuk ke Indonesia pada tahun 2015, sedangkan Uber lebih muda kehadirannya di Indonesia, masuk pada April 2016.  Gojek memiliki layanan yang paling lengkap, selain mobil (Gocar) ada Go-Ride, Go-Send, GO-Food, dan Go-Mart. Setiap pengemudi dapat menerima pesanan dari tipe layanan tersebut. Sedangkan Grab, dalam layanan roda dua-nya hanya memili Grabbike, GrabFood dan GrabExpress. Berbeda dengan kompetitor lainnya yang memiliki layanan yang beragam, Uber hanya memiliki layanan antar orang berupa UberX dan UberMoto.

Berbicara soal kesejahteraan, berarti mengenai pendapatan pengemudi, insentif atau bonus, transparansi pembayaran, dan layanan lain semisal asuransi. Menjadi primadona para pencari nafkah, teryata tidak semua pengemudi merasa sejahtera. Untuk masalah insentif  dan transparansi Gojek yang paling baik diikuti oleh Grab dan Uber.


Tidak hanya mereka yang membutuhkan pekerjaan saja yang mencoba peruntungan menjadi pengemudi ojek online. Banyak dari mereka yang menjadikan ojek online ini sampingan. Tidak terbatas pada pegawai atau yang sudah mempunyai pekerjaan tetap saja, tetapi juga banyak mahasiswa yang menjadikan ojek online ini sambilan untuk menambah uang jajan mereka.

Seperti yang dituturkan oleh Naufal, pengemudi Gojek dan juga mahasiswa di sebuah universitas di Jakarta Timur yang dia wawancara via aplikasi pesan instan pada Jumat (12/04/2017). Dia mengisahkan aktivitas dia menyambi ojek online sembari kuliah sebagai aktivitas utama.

“Kalo dibilang sejahtera dari segi income, insentif, dsb saya rasa sudah cukup ya, karena kebetulan saya masih mahasiswa yang belum memilki banyak tanggungan dan gojek hanya sebagai sampingan saya untuk mencari uang tambahan,” jelas Naufal.

Hal yang berbeda disampaikan oleh salah satu driver Grab yang juga mahasiswa dan menyambi sebagai pengemudi Grab. Jika Naufal yang sambilan merasa cukup di Gojek, tidak demikian dengan Dimas pengemudi Grab.

“Sebab, kita harus mencapai angka penerimaan 60% untuk mendapatkan insentif, misalnya tidak sampai 60% maka insentif kita hangus atau tidak dapat sama sekali, jelasnya.

Meskipun dari pendapatan saja Grab sudah lumayan, tetapi Dimas masih mengeluhkan soal insentif dan transparansi pembayaran oleh pihak Grab ke pengemudi.

“Perhitungan insentifnya tidak jelas dan tidak transparan, kalo dari pendapatan menurut saya pribadi lumayan,” ujarnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh pengemudi Grab lainnya yang bekerja secara penuh waktu di Grabbike. Lukman, seorang pengemudi Grabbike yang mengemudi secara penuh waktu di Grabbike mengatakan jika sejahtera atau tidaknya pengemudi bergantung kepada diri pengemudi masing-masing.

“Jika kita rajin, ya pendapatan akan semakin banyak,” ujarnya.

Tetapi ia membandingkan Grab dengan Gojek, dan Gojek menurutnya lebih transparan dan jelas. 

“Untuk mekanisme di Grab saya akui cukup membingungkan dibanding dengan gojek yang lebih transparan. Karena jika di Gojek, mulai pembayaran, penilaian dari pelanggan, semua tertera. Sedangkan Grab, kadang penghitungan pembayaran berbeda dengan apa yang kita dapat, dan penilaian dari pelanggan tidak bisa kita lihat langsung,” jelasnya.
                      
Pengemudi Grab tidak sendirian, pengemudi Uber juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih parah. Dari insentif yang kecil jika dibandingkan dengan dua competitor lain, dan juga tarif yang paling murah di antara ketiganya.
Ditanya mengenai kesejahteraan, Surya, salah satu pengemudi Uber yang sudah bergabung sekitar 11 bulan bersama Uber, menjelaskan tentang insentif  Uber dan menanyakan balik apakah itu sejahtera atau tidak.

“Menurut anda, bagaimana dengan bonus 200 ribu melakukan 35x perjalanan satu minggu dan tarif 0-10km seharga Rp. 1250 dan  di atas 10km Rp. 2000 itu mensejahterakan?” Tegasnya.

Sebagai perbandingan, insentif yang berlaku di Gojek adalah sistem poin, dengan jumlah maksimal bonus yang didapat dalam sehari adalah Rp. 100.000. Rinciannya adalah:

§  12 Poin = Rp. 5.000
§  14 Poin = Rp. 25.000
§  16 Poin = Rp. 30.000
§  20 Poin = Rp. 40.000

Jelas sangat jauh jika dibandingkan dengan Uber yang hanya Rp. 200.000 seminggu. Ditambah, Gojek mempunyai beberapa layanan sehingga membuat pendapatan pengemudi semakin banyak.

Bonus yang diberikan oleh Gojek tentu bukan tanpa syarat. Ada persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan bonus, yaitu performa. Performa harus minimal 40% untuk mendapatkan bonus, perhitungannya adalah setidaknya kita menerima 4 order dari 10 order yang masuk.

Menurut Naufal, syarat seperti ini cukup  sulit dan berat. Naufal melanjutkan, biasanya performa tidak mencapai target karena banyaknya cancel yang dilakukan oleh pelanggan.

“Atau saat order Gofoood restaurant yang dituju tutup, sehingga terpaksa pengemudi melakukan pembatalan,” tambahnya.

Meski begitu, ia mengakui hal tersebut dapat ditutupi oleh banyaknya orderan yang berarti jumlah pengguna Gojek saat ini cukup banyak.

Naufal menambahkan, bahwa dia juga pernah menjadi mitra pengemudi Uber. Dia membandingkan antara Gojek dan Uber bahwa lebih sejahtera di Gojek karena dari tarif dasarnya saja sudah berbeda, jika di Gojek 2000 km saat bukan jam sibuk dan tentunya bertambah saat jam sibuk. Sementara Uber hanya 1250/km.

“Ya untuk saat ini masih Gojek yang paling bagus menurut saya untuk masalah kesejahteraan pengemudi,” tegasnya.

Untuk masalah kemudahan mendapatkan bonus, Lukman juga mengakui bahwa di Grab sedikit susah untuk mendapatkan bonus tersebut semenjak pemberlakuan kebijakan baru.

“Mudah atau tidak, sebenarnya biasa saja. Namun semenjak kebijakan insentif baru per-tanggal 10 April 2017 kemarin, saya akui cukup menyulitkan pengemudi. Karena minimal tingkat penerimaan pengemudi harus 60% jika ingin mendapatkan minimal argo, dan bonus-bonus yang lainnya.


Uber juga menerapkan sistem insentif yang tidak jauh berbeda. DI Uber, setiap pengemudi mendapatkan insentif sebesar Rp. 200.000 untuk setiap 35 perjalanan yang diselesaikan dalam Senin hingga Sabtu pagi pukul 04.00 WIB. Selain itu juga ada skema perkalian tariff ramai  1,1 sampai dengan perkalian 3,5 di area ramai.

Ketiga perusahaan ini juga memberikan promo guna menarik pelanggan sebelah untuk pindah jasa layanan, dan membuat pelanggan menjadi nyaman karena diuntungkan. Gojek memiliki Gopay atau dompet virtual yang menjadi alat pembayaran berbagai layanan Gojek. Ketika pelanggan memakai Gopay untuk pembayaran, maka ada berbagai potongan untuk layanan Goride, Gosend dan Gomart, dan bahkan gratis ongkos kirim untuk layanan Gofood.

Berbeda dengan Gojek,yang memiliki dompet virtual,  Uber hanya melayani pembayaran menggunakan kartu kredit atau pembayaran tunai. Sistem promo yang diberikan oleh Uber adalah memberikan kode promo kepada pelanggan untuk digunakan. Promonya berupa potongan harga selama periode tertentu atau pemesanan dari/ke tujuan tertentu. Tidak hanya berupa potongan, terkadang ada juga promo yang menggratiskan keseluruhan biaya perjalanan.

Grab juga memberlakukan sistem promo yang sama dengan Uber, bahkan Grab lebih variatif dalam mengeluarkan promo dan dilakukan berulang ketika masa promo habis, maka akan ada promo baru lagi. Selain melakukan pembayaran dengan tunai, Grab juga memiliki dompet virtual bernama Grabpay. Promo yang diberikan juga tidak beda jauh dengan promo Gopay dan Uber. Untuk pembayaran via tunai, promo juga berupa kode promo untuk mendapatkan potongan atau menggratiskan biaya perjalanan.

Selain kebijakan yang dibuat oleh perusahaan, beberapa factor lainnya yang dapat menghambat adalah jumlah orderan yang tidak tentu ada di setiap daerahnya. Faktor pengemudi yang jumlahnya semakin menjamur juga menjadi faktor lain. Selain itu, terkadang ada saja orang yang iseng membuat orderan palsu untuk menjatuhkan tingkat penerimaan atau performa setiap pengemudi.

Naufal berharap jika Gojek dapat memperbaiki sistemnya ke depan, karena aplikasi Gojek untuk pengemudi terkadang masih sering mengalami masalah. Naufal pun menganggap bahwa sistem kompensasi yang diberikan pihak Gojek sebaiknya dikaji ulang terutama soal poin dan performa yang memberatkan para pengemudi.

Dimas juga berharap ada perbaikan yang menguntungkan para pengemudi, sehingga pengemudi tidak merasa dirugikan.

“Semoga lebih baik dari sebelumnya, hargai para pengemudi, jangan sering membuat promo, karena biayanya sudah sangat murah,” harapnya.

Hal yang senada juga diharapkan oleh Lukman. Dia berharap Grab bisa lebih transparan dalam segi pembagian bonus, insentif, penilaian, dan lain-lain.

“Apalagi akhir-akhir ini  seringkali Grab membuat potongan harga kepada pelanggan. Sehingga para pengemudi yang dibebankan dengan peraturan yang bisa dibilang cukup berat, harus pula menanggung harga yang tidak penuh, alias potongan harga yang terlalu sering diadakan,” keluhnya.

Para pengemudi Uber menganggap layanan antar orang saja tidak cukup, karena sudah ketinggalan dari competitor lain. Surya pun berharap  adanya layanan pengiriman barang (UberRush) dan makanan (UberEats). Dia beranggapan bahwa jika Uber membuka layanan itu di Indonesia, konsumen Uber akan bertambah yang berefek kepada penghasilan mitra Uber itu sendiri.

“Karena jika mengharap kenaikan intensif, tarif dan skema bonus, saya rasa tidak mungkin. Yang sudah-sudah insentif malah menurun dari waktu ke waktu, dan berlanjut. Melihat dari pengalaman ini saya pesimis jika akan membaik,” tutupnya.