|
Ketiga Pemain Besar Ojek Online, Uber, Grab, Gojek |
JAKARTA – Kehadiran
transportasi online beroda dua atau yang biasa kita kenal dengan ojek online
sangat membantu masyarakat dalam urusan transportasi. Tidak hanya dapat
mengantarkan kita ke tujuan yang kita tuju, tetapi juga dapat membelikan kita
makanan, atau sekedar mengantar barang ke tempat lain. Dampaknya juga luas,
banyak masyarakat yang mendapatkan mata pencaharian baru ini sehingga dapat mengurangi
jumlah pengangguran. Dari jumlah pengguna jasa ojek online yang banyak dan juga
jenis layanan yang beragam membuat orderan tentu ramai, tetapi apakah mitra
pengemudi merasakan kesejahteraan dari pekerjannya ini?
Saat ini hanya ada tiga
pemain besar saja dalam dunia transportasi online. Sebelumnya yang lain juga
menjamur, sebelum hilang karena kalah bersaing. Ketiga pemain utama itu adalah
Gojek, Grab, dan Uber. Gojek ada sejak 2010, Grab masuk ke Indonesia pada tahun
2015, sedangkan Uber lebih muda kehadirannya di Indonesia, masuk pada April
2016. Gojek memiliki layanan yang paling
lengkap, selain mobil (Gocar) ada Go-Ride, Go-Send, GO-Food, dan Go-Mart. Setiap
pengemudi dapat menerima pesanan dari tipe layanan tersebut. Sedangkan Grab,
dalam layanan roda dua-nya hanya memili Grabbike, GrabFood dan GrabExpress.
Berbeda dengan kompetitor lainnya yang memiliki layanan yang beragam, Uber
hanya memiliki layanan antar orang berupa UberX dan UberMoto.
Berbicara soal kesejahteraan,
berarti mengenai pendapatan pengemudi, insentif atau bonus, transparansi
pembayaran, dan layanan lain semisal asuransi. Menjadi primadona para pencari
nafkah, teryata tidak semua pengemudi merasa sejahtera. Untuk masalah insentif dan transparansi Gojek yang paling baik
diikuti oleh Grab dan Uber.
Tidak hanya mereka yang
membutuhkan pekerjaan saja yang mencoba peruntungan menjadi pengemudi ojek
online. Banyak dari mereka yang menjadikan ojek online ini sampingan. Tidak
terbatas pada pegawai atau yang sudah mempunyai pekerjaan tetap saja, tetapi
juga banyak mahasiswa yang menjadikan ojek online ini sambilan untuk menambah
uang jajan mereka.
Seperti yang dituturkan
oleh Naufal, pengemudi Gojek dan juga mahasiswa di sebuah universitas di
Jakarta Timur yang dia wawancara via aplikasi pesan instan pada Jumat (12/04/2017). Dia mengisahkan aktivitas dia menyambi ojek online sembari
kuliah sebagai aktivitas utama.
“Kalo dibilang
sejahtera dari segi income, insentif,
dsb saya rasa sudah cukup ya, karena kebetulan saya masih mahasiswa yang belum
memilki banyak tanggungan dan gojek hanya sebagai sampingan saya untuk mencari
uang tambahan,” jelas Naufal.
Hal yang berbeda
disampaikan oleh salah satu driver Grab yang juga mahasiswa dan menyambi
sebagai pengemudi Grab. Jika Naufal yang sambilan merasa cukup di Gojek, tidak
demikian dengan Dimas pengemudi Grab.
“Sebab, kita harus
mencapai angka penerimaan 60% untuk mendapatkan insentif, misalnya tidak sampai
60% maka insentif kita hangus atau tidak dapat sama sekali, jelasnya.
Meskipun dari
pendapatan saja Grab sudah lumayan, tetapi Dimas masih mengeluhkan soal
insentif dan transparansi pembayaran oleh pihak Grab ke pengemudi.
“Perhitungan
insentifnya tidak jelas dan tidak transparan, kalo dari pendapatan menurut saya
pribadi lumayan,” ujarnya.
Hal yang sama juga
disampaikan oleh pengemudi Grab lainnya yang bekerja secara penuh waktu di
Grabbike. Lukman, seorang pengemudi Grabbike yang mengemudi secara penuh waktu
di Grabbike mengatakan jika sejahtera atau tidaknya pengemudi bergantung kepada
diri pengemudi masing-masing.
“Jika kita rajin, ya
pendapatan akan semakin banyak,” ujarnya.
Tetapi ia membandingkan
Grab dengan Gojek, dan Gojek menurutnya lebih transparan dan jelas.
“Untuk mekanisme di
Grab saya akui cukup membingungkan dibanding dengan gojek yang lebih
transparan. Karena jika di Gojek, mulai pembayaran, penilaian dari pelanggan,
semua tertera. Sedangkan Grab, kadang penghitungan pembayaran berbeda dengan
apa yang kita dapat, dan penilaian dari pelanggan tidak bisa kita lihat
langsung,” jelasnya.
Pengemudi Grab tidak
sendirian, pengemudi Uber juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih parah.
Dari insentif yang kecil jika dibandingkan dengan dua competitor lain, dan juga
tarif yang paling murah di antara ketiganya.
Ditanya mengenai
kesejahteraan, Surya, salah satu pengemudi Uber yang sudah bergabung sekitar 11
bulan bersama Uber, menjelaskan tentang insentif
Uber dan menanyakan balik apakah itu sejahtera atau tidak.
“Menurut anda,
bagaimana dengan bonus 200 ribu melakukan 35x perjalanan satu minggu dan tarif 0-10km
seharga Rp. 1250 dan di atas 10km Rp.
2000 itu mensejahterakan?” Tegasnya.
Sebagai perbandingan,
insentif yang berlaku di Gojek adalah sistem poin, dengan jumlah maksimal bonus
yang didapat dalam sehari adalah Rp. 100.000. Rinciannya adalah:
§ 12 Poin = Rp. 5.000
§ 14 Poin = Rp. 25.000
§ 16 Poin = Rp. 30.000
§ 20 Poin = Rp. 40.000
Jelas sangat jauh jika
dibandingkan dengan Uber yang hanya Rp. 200.000 seminggu. Ditambah, Gojek
mempunyai beberapa layanan sehingga membuat pendapatan pengemudi semakin
banyak.
Bonus yang diberikan
oleh Gojek tentu bukan tanpa syarat. Ada persyaratan yang harus dipenuhi jika
ingin mendapatkan bonus, yaitu performa. Performa harus minimal 40% untuk
mendapatkan bonus, perhitungannya adalah setidaknya kita menerima 4 order dari
10 order yang masuk.
Menurut Naufal, syarat
seperti ini cukup sulit dan berat. Naufal melanjutkan, biasanya performa
tidak mencapai target karena banyaknya cancel yang dilakukan oleh pelanggan.
“Atau saat order
Gofoood restaurant yang dituju tutup, sehingga terpaksa pengemudi melakukan
pembatalan,” tambahnya.
Meski begitu, ia
mengakui hal tersebut dapat ditutupi oleh banyaknya orderan yang berarti jumlah
pengguna Gojek saat ini cukup banyak.
Naufal menambahkan,
bahwa dia juga pernah menjadi mitra pengemudi Uber. Dia membandingkan antara
Gojek dan Uber bahwa lebih sejahtera di Gojek karena dari tarif dasarnya saja
sudah berbeda, jika di Gojek 2000 km saat bukan jam sibuk dan tentunya bertambah saat
jam sibuk. Sementara Uber hanya 1250/km.
“Ya untuk saat ini
masih Gojek yang paling bagus menurut saya untuk masalah kesejahteraan
pengemudi,” tegasnya.
Untuk masalah
kemudahan mendapatkan bonus, Lukman juga mengakui bahwa di Grab sedikit susah
untuk mendapatkan bonus tersebut semenjak pemberlakuan kebijakan baru.
“Mudah atau tidak, sebenarnya biasa saja. Namun semenjak kebijakan
insentif baru per-tanggal 10 April 2017 kemarin, saya akui cukup menyulitkan pengemudi. Karena minimal tingkat
penerimaan pengemudi harus 60% jika ingin mendapatkan minimal argo, dan
bonus-bonus yang lainnya.
Uber juga menerapkan sistem
insentif yang tidak jauh berbeda. DI Uber, setiap pengemudi mendapatkan
insentif sebesar Rp. 200.000 untuk setiap 35 perjalanan yang diselesaikan dalam
Senin hingga Sabtu pagi pukul 04.00 WIB. Selain itu juga ada skema perkalian tariff
ramai 1,1 sampai dengan perkalian 3,5 di
area ramai.
Ketiga perusahaan ini
juga memberikan promo guna menarik pelanggan sebelah untuk pindah jasa layanan,
dan membuat pelanggan menjadi nyaman karena diuntungkan. Gojek memiliki Gopay
atau dompet virtual yang menjadi alat pembayaran berbagai layanan Gojek. Ketika
pelanggan memakai Gopay untuk pembayaran, maka ada berbagai potongan untuk
layanan Goride, Gosend dan Gomart, dan bahkan gratis ongkos kirim untuk layanan
Gofood.
Berbeda dengan Gojek,yang
memiliki dompet virtual, Uber hanya
melayani pembayaran menggunakan kartu kredit atau pembayaran tunai. Sistem
promo yang diberikan oleh Uber adalah memberikan kode promo kepada pelanggan
untuk digunakan. Promonya berupa potongan harga selama periode tertentu atau
pemesanan dari/ke tujuan tertentu. Tidak hanya berupa potongan, terkadang ada
juga promo yang menggratiskan keseluruhan biaya perjalanan.
Grab juga memberlakukan
sistem promo yang sama dengan Uber, bahkan Grab lebih variatif dalam
mengeluarkan promo dan dilakukan berulang ketika masa promo habis, maka akan ada promo baru lagi. Selain melakukan pembayaran dengan tunai, Grab juga
memiliki dompet virtual bernama Grabpay. Promo yang diberikan juga tidak beda
jauh dengan promo Gopay dan Uber. Untuk pembayaran via tunai, promo juga berupa
kode promo untuk mendapatkan potongan atau menggratiskan biaya perjalanan.
Selain kebijakan yang
dibuat oleh perusahaan, beberapa factor lainnya yang dapat menghambat adalah
jumlah orderan yang tidak tentu ada di setiap daerahnya. Faktor pengemudi yang
jumlahnya semakin menjamur juga menjadi faktor lain. Selain itu, terkadang ada
saja orang yang iseng membuat orderan palsu untuk menjatuhkan tingkat penerimaan
atau performa setiap pengemudi.
Naufal berharap jika
Gojek dapat memperbaiki sistemnya ke depan, karena aplikasi Gojek untuk
pengemudi terkadang masih sering mengalami masalah. Naufal pun menganggap bahwa
sistem kompensasi yang diberikan pihak Gojek sebaiknya dikaji ulang terutama
soal poin dan performa yang memberatkan para pengemudi.
Dimas juga berharap
ada perbaikan yang menguntungkan para pengemudi, sehingga pengemudi tidak
merasa dirugikan.
“Semoga lebih baik
dari sebelumnya, hargai para pengemudi, jangan sering membuat promo, karena
biayanya sudah sangat murah,” harapnya.
Hal yang senada juga
diharapkan oleh Lukman. Dia berharap Grab bisa lebih transparan dalam segi pembagian
bonus, insentif, penilaian, dan lain-lain.
“Apalagi akhir-akhir
ini seringkali Grab membuat potongan
harga kepada pelanggan. Sehingga para pengemudi yang dibebankan dengan
peraturan yang bisa dibilang cukup berat, harus pula menanggung harga yang
tidak penuh, alias potongan harga yang terlalu sering diadakan,” keluhnya.
Para pengemudi Uber
menganggap layanan antar orang saja tidak cukup, karena sudah ketinggalan dari competitor
lain. Surya pun berharap adanya layanan
pengiriman barang (UberRush) dan makanan (UberEats). Dia beranggapan bahwa jika
Uber membuka layanan itu di Indonesia, konsumen Uber akan bertambah yang
berefek kepada penghasilan mitra Uber itu sendiri.
“Karena jika mengharap kenaikan intensif, tarif dan skema bonus,
saya rasa tidak mungkin. Yang sudah-sudah insentif malah menurun dari waktu ke
waktu, dan berlanjut. Melihat dari pengalaman ini saya pesimis jika akan
membaik,” tutupnya.